Home Parenting Toilet Training dan Tanda Kemandirian Anak

Toilet Training dan Tanda Kemandirian Anak

0

Toilet Training adalah proses belajar anak untuk mampu buang air sendiri di toilet layaknya orang dewasa. Tahap ini merupakan salah satu tahap perkembangan penting anak menuju kemandirian. Kunci dalam melakukan toilet training pada anak yaitu mengenali isyarat dan kesiapan anak untuk belajar, konsisten, serta tidak dipaksakan.

Tahap toilet training meliputi pengertian mengenai buang air, melepaskan pakaian, membersihkan bagian tubuh sekitar tempat buang air, mengenakan pakaian kembali, menyiram toilet, dan mencuci tangan. Buatlah pengalaman belajar ini sebagai kegiatan yang bersifat alami dalam hidup sehari-hari.

Pada awal toilet training, anak laki-laki perlu belajar buang air kecil dalam posisi duduk terlebih dahulu. Belajar buang air kecil langsung dalam posisi berdiri mungkin dapat menyulitkan proses belajar duduk di toilet untuk buang air besar. 

Tahapan Usia Anak Siap Melakukan Toilet Training Seperti Berikut:

  • 18 bulan: Menunjukkan tanda kesiapan
  • 24 bulan: Step by step toilet training dapat mulai dikenalkan
  • 30 – 36 bulan: Sudah dapat sadar untuk buang air di toilet pada siang hari
  • 36 – 48 bulan: Dapat menahan buang air dari sebelum tidur sampai pagi dan melakukan buang air pada toilet meskipun pada malam hari

Tanda Anak Siap Menjalani Toilet Training adalah merasa tidak nyaman dengan popok yang kotor. Popok kering selama dua jam atau lebih. Jadwal buang air lebih teratur

Toilet training termasuk dalam tanda-tanda kemandirian anak. Ada anak yang berhasil toilet trainingnya di umur 1 tahun atau 12 bulan. Begitu bisa berjalan, si anak sudah paham pergi ke toilet untuk buang air kecil dan buang air besar. Ternyata, di usia sekolah pun, anak yang toilet trainingnya cepat menunjukkan kemandirian yang bagus.

Ada juga anak yang walau sudah 2 tahun tapi masih juga buang air sembarangan. Ini tergantung pada orang tuanya. Memang, kadang orangtua memakaikan pampers dengan alasan kepraktisan. Walau begitu, penting diingat, anak tidak selamanya pakai pampers. Anak juga mesti belajar buang air secara mandiri. 

Penulis pernah menjumpai anak yang sudah kelas 5 SD masih juga ngompol dan berak langsung tanpa ke  toilet. Akibatnya, seluruh kelas merasa tergganggu dengan bau pesing atau bau kotoran. Tentu saja, si anak pasti menjadi korban bully teman-teman sekelasnya. 

Dari segi kemandirian, anak yang toilet trainingnya belum berhasil di kelas 5 SD pada saat kerja kelompok, taunya hanya mejeng tanpa membantu. Terlihat sibuk tapi tak ada hasil dari kesibukannya.

Toilet training ini wajib berhasil ya karena menyangkut harga diri anak. Jangan karena malas, kita pakaikan pampers, sampai anak berusia 10 tahun, dia cuma taunya buang air di pampers. Gitu pampers dilepas, si anak binggung sendiri

Psikologi Dibalik Buang Air Pada Anak: Ditahan-tahan atau Langsung ke toilet.

Tahap usia dimana anak mulai menghasilkan adalah saat buang air. Lho kok menghasilkan ? Menghasilkan itu bukan hanya menghasilkan sesuatu yang positif seperti menghasilkan buah atau bunga, menghasilkan kotoran pun termasuk kategori “ menghasilkan”. 

Di saat anak sadar dirinya bisa “menghasilkan”, perhatikan apa yang anak lakukan? Apakah ia segera membuangnya atau menahan-nahannya? 

Kita sering dengar kan istilah “menahan-nahan pipis “. Nah, ternyata ada psikologi menarik di fase umur ini. 

Anak yang suka “ menahan-nahan” biasanya anak yang pelit, enggan berbagi, keras kepala. Sedangkan anak yang “langsung membuang” termasuk anak yang pemurah dan suka berbagi. 

Coba bayangkan, untuk sesuatu yang sifatnya” kotoran” saja, si anak masih suka menahan-nahan. Apalagi untuk sesuatu yang sifatnya “ berharga”? Kita juga paham sesuatu yang sifatnya “ kotoran” dan ditahan-tahan keluarnya malah bisa bersifat racun. Dari segi kesehatan, menahan pipis bisa menyebabkan batu ginjal kan? Apalagi menahan “ kotoran padat”.

Itu sebabnya, sejak kecil kita diajarkan toilet training, jangan ditahan sampai sesak, Keluarkan yang perlu dikeluarkan pada waktunya. Penulis belajar hal ini saat belajar psikologi perkembangan anak dari usia bayi sampai remaja dalam graphologi. Grafologi adalah ilmu membaca kepribadian melalui tulisan tangan.

Masa anak-anak berkisar sekitar umun 2-5 tahun. Berdasarkan pendapat Freud, setelah melihat fase-fase perkembangannya, masa anak-anak dapat dibagi atas dua fase, yaitu fase anal (2-3 tahun) dan fase falis (3-5 tahun). 

Menurut Sigmund Freud, perkembangan manusia dimulai dari bayi dimana fase oral berpengaruh. Dilanjutkan dengan masa anak-anak, Pada fase-fase ini terdapat beberapa dorongan untuk mencari kenikmatan dengan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Dan terdapat pula kecenderungan-kecenderungan pada fase-fase ini. Pada fase anal, setelah masa oral, anak memindahkan pusat kenikmatan dari daerah mulut ke daerah anus (dubur). Rangsangan pada daerah anus ini berkaitan erat dengan kegiatan buang air besar, karena keduanya merupakan sumber kenikmatan secara libidinal. Reaksi orang tua bersikap senang dan menolak. Senang apabila anak melakukan aktivitas yang kurang baik. Reaksi ini dapat menumbuhkan sikap malu pada anak-anak. 

Masa ini berhubungan pula dengan soal kebersihan dan keteraturan. Apabila orang tua memperlihatkan sikap yang terlalu keras, maka anak akan memperlihatkan pula sikap yang menentang (negativisme). Karena itu orang tua harus bersikap bijak pada masa ini. Hal ini disebabkan anak tidak lagi bersifat pasif, tetapi anak mulai mau menentukan dirinya sendiri. Walaupun anak sudah mulai mau menentukan dirinya sendiri, namun ia selalu merasa ragu-ragu terhadap dirinya sendiri dan terhadap perbuatannya.

 Orang tua tidak membiarkan anak mengatur dirinya sendiri, melainkan menuntun anak untuk berbuat dengan penuh kelembutan. Dari sudut perkembangan sosialnya, anak mulai bisa melakukan sendiri beberapa aktivitas yang tadinya dilakukan orang lain baginya. Layaknya fase oral, fase anal juga dibagi atas dua fase, yaitu sub fase pengeluaran kotoran dan sub fase penahanan kotoran. Kedua sub fase ini merupakan kegiatan anak untuk mendapatkan kepuasan dan sekaligus juga sebagai reaksi terhadap sikap orang tua yang tidak menyenangkan dirinya. 

Pada pengeluaran kotoran tampak sikap ‘mengotori’ lingkungannya. Anak di sini bersikap masa bodoh, serampangan dan tidak rapi. Sedangkan pada kegiatan menahan kotoran merupakan kepuasan lain untuk menunjukkan bahwa ia tidak mau ‘diatur’ oleh orang lain. Anak di sini bersifat kaku, keras kepala, kerapian yang berlebih-lebihan. Pada fase ini dapat terjadi fiksasi kelak kemudian hari, apabila anak tidak dapat mengalami kepuasan dalam fase ini. Fiksasi tersebut seperti, homoseksualitas, lesbian, phobia dan infantilisme. Karena itu peran orang tua sangat dibutuhkan, agar kelak anak berkembang sesuai dengan fase yang dialaminya. Sehingga nanti anak tidak mengalami kesulitan dengan dirinya dan orang lain*

*Kemandirian Pada Anak Usia Dini: Kewajiban Siapa Untuk Mengajarinya?

Natalya Dewi

Anak usia dini, maksudnya anak berusia 1- 5 tahun. Dan inilah keterampilan yang bisa balita Anda lakukan secara mandiri.


1. Bisa mencuci tangannya sendiri. Sebaiknya sediakan kursi atau tangga di depan wastafel agar anak Anda mudah untuk menggapai kran air.

2. Bisa mandi sendiri. Namun, jangan punya ekspektasi bahwa ia sudah bisa mandi dengan bersih. Sesekali pastikan ia tepat membersihkan anggota tubuhnya. Dan agar ia lebih semangat, sediakan peralatan mandi khusus untuk anak, lengkap dengan warna-warni. 

3. Bisa menggosok gigi. Sama halnya dengan mandi sendiri, cek dengan rutin gigi anak Anda, dan pastikan step by step sikat gigi-nya sudah benar.

4. Mulai mahir menggunakan sendok, balita sudah bisa makan sendiri. Untuk memudahkan anak makan, berikan ia sendok khusus anak-anak karena sesuai dengan ukuran tangannya. 
5. Pakai baju sendiri. Sebaiknya pilih pakaian yang tidak sulit untuk dipakai balita, ya, Bunda. Misalnya kancing yang rumit, karena Anda mengincar model pakaian yang trendy.
6. Sudah bisa bilang, “Bunda, aku mau pipis.” Anak memberitahukan Anda ketika ingin BAK atau BAB, sebelum BAK atau BAB di celana adalah pertanda anak akan masuk ke ‘level’ berikutnya, yakni siap untuk melakukan toilet training.

Trus siapa yang wajib mengajarkan kemandirian ? Tentu saja orang tua termasuk ayah dan ibu. Ajarkan kemandirian selagi dini. Meski anda sangat sanggup membayar baby sitter atau pengasuh untuk mengurusi anak, sedini mungkin ajarkan anak untuk mandiri dan sanggup mengurusi dirinya sendiri. Jangan manjakan anak, memanjakan anak bisa jadi boomerang bagi anda. 

Anak yang sanggup mengurusi dirinya sendiri itu lebih bahagia daripada anak manja yang selalu nunggu diurusi pengasuh atau baby sitter. Waktu masih bayi, kita mungkin menganggap anak belum mampu atau belum saatnya. Hal yang lucu ini sudah tidak lucu lagi saat anak menginjak usia remaja atau dewasa. Kasihan deh melihat orang dewasa yang tidak sanggup apa-apa. Lebih baik di usia dini, anak dididik dengan keras daripada mendidik saat remaja atau dewasa, ibarat kayu bengkok sudah keras, bagaimana diluruskan lagi?*

*Pengaruh Trauma Fase Oral Saat Bayi pada Kepribadian Anak Saat Dewasa

Emang ada kebiasaan atau trauma saat baik yang efeknya terasa saat dewasa kelak ? Tentu saja ada, walau banyak yang tidak menyadarinya.

Usia bayi dari sejak 0 hari- 1 tahun adalah usia dimana bayi mendapatkan kesenangan melalui mulut/ oral. Itu sebabnya, ada bayi yang baru bisa tidur kalau ada “ kompeng”. Ada bayi yang hobi mengunyah kompeng atau kalau tidak ada kompeng, mengemut dot di botol susunya. Kalau tidak ada kompeng, bayi memasukkan jempol atau jarinya ke mulut. 

Ada orang tua yang beranggapan kompeng bisa membuat susunan gigi anak jelek. Bayinya hanya mendapat kesenangan oral saat menyusu  yang juga ia batasi waktunya. Mereka punya alasan tersendiri.

Efek hal ini memang tidak langsung terlihat dan kadang baru muncul setelah dewasa dimana anak yang saat bayinya secara oral dibatasi biasanya menunjukkan kecanduan tertentu, misalnya hobi makan sampai obesitas ( kelebihan berat badan), merokok, berbicara ketus atau suka memaki.

Menurut hasil penelitian teori psikoseksual-psikoanalisa, jika  seseorang gagal (tidak puas) dalam fase oral saat bayi maka, kelak saat ia dewasa ia tumbuh menjadi pribadi yang tidak matang, bicaranya ketus, mudah memaki dan bertindak kasar, alkoholisme, menggigit kuku, berkepribadian menuntut. 

Pada saat dalam kandungan, janin sebenarnya sudah mulai” berlatih” menghisap jari. Refleks alami ini sudah ada sejak janin memasuki usia 4 bulan dalam rahim. Hal tersebut bisa dilihat pada waktu dilakukan pemeriksaan USG, kadang terlihat bayi sedang ” ngemut jari”. Latihan menghisap jari pada janin ini dilanjutkan pada saat bayi lahir dan menyusui. Pada saat menyusui, bayi berusaha memenuhi kebutuhan kepuasan oral dengan menghisap ASI dan kontak mulut dengan puting payudara ibu.

 Bayi  baru lahir berada dalam tahap awal pengalaman menyalurkan insting primitifnya yakni pemuasan oral (oral gratification) dengan melakukan hisapan dan belum menyadari hubungan pemenuhan kebutuhan makanan (rasa lapar dan haus) dengan aktivitasnya melakukan hisapan mulut dan keluarnya ASI. Lalu, lambat laun pengalaman menghisap ini membuat bayi menyimpan memori pertama dalam kehidupannya bahwa dengan menghisap ASI pada payudara ibunya ia akan merasa kenyang, nyaman, kebutuhan rasa aman dan kasih sayang terpenuhi. Inilah modal awal bayi untuk perkembangan pisokologisnya. 

Fase oral ini hanya berlangsung hingga 18 bulan. Ibu tak perlu cemas. Menghisap jari ini tidak  akan menjadi  kebiasaan buruk pada bayi. Dengan catatan, tangan dan jari bayi bersih. Bila sesekali ia menghisap mainan maka ibu perlu memastikan bahwa mainan anak yang dihisap bersih. Bila anak sudah tumbuh gigi permanen atau usia 4 tahun anak masih mengemut jari, ibu bisa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan. 

Untuk membantu menghilangkan kebiasaan menghisap jari atau benda – benda di usia lebih dari 2 tahun ibu bisa menggantikan dengan memberi kesempatan anak memegang jenis makanan berupa potongan buah-buahan segar dan memperpanjang waktu pemberian makan. Perhatikan agar bayi  tidak memasukkan benda – benda berbahaya ke dalam mulut untuk dihisap.*

*3 Kata Yang Wajib Dikuasai Anak

Hanya 3 kata ini yang apabila dikuasai anak maka anak di kemudian hari akan menemukan banyak kemudahan dalam hidupnya. Orang-orang di sekitar anak akan lebih murah hati membantu saat anak menghadapi kesulitan. 

3 kata yang wajib dikuasai anak adalah Maaf, Tolong dan Terima Kasih. Saat berbuat keliru, ucapkan Maaf. Tanpa alasan panjang pendek hasil mengarang bebas. Kata berikutnya adalah Tolong, saat memerlukan bantuan atau petunjuk dari orang lain.

Dan kata terakhir yang paling sering dilupakan adalah terima kasih. Ini adalah kata yang menunjukkan penghargaan atas bantuan yang diberikan. 3 kata ini juga menunjukkan etika dalam berkomunikasi.*

*Saat Si Kecil “ Tinggal Kelas”

Si kecil yang dimaksud di sini adalah anak yang baru menginjak kelas 1 SD. Kabar si kecil tinggal kelas seperti mendengar suara halilintar di siang bolong. Memang orang tua selalu berharap anaknya juara 1 di sekolah, berprestasi di segala bidang dan menjadi kebanggaan. Bagaimana jika ternyata anak kita malah juara 1 dari belakang,, lambat dalam belajar dan selalu ketinggalan?

Laporan penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kongres PGRI XVII menyatakan angka tinggal kelas di SD cukup tinggi, Bun. Kelas 1 sebanyak 16,7% ; kelas 2 sebanyak 12,4%, kelas 3 sebanyak 10,6 %. Sebagian besar anak yang tinggal kelas ternyata kecerdasan intelektualnya tidak di bawah rata-rata.

Kalau ini yang terjadi, berjiwa besar lah. Tuliskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki anak. Bicarakan dari hati ke hati tentang harapan kita sebagai orang tua. Jangan pasang target terlalu tinggi. Hanya ada di cerita dongeng kalau anak yang tinggal kelas di tahun berikutnya bisa juara umum. Minimal bisa naik ke kelas berikutnya. 

Bicara dari hati ke hati saja tidak cukup, akui juga kelalaian sebagai orang tua karena tinggal kelas itu hasil belajar 6 bulan bukan 1 hari. Ada ujian harian, ujian tengah semester sebelum akhirnya ujian semester. Saat ujian harian bermasalah, itu sudah jadi sinyal ada sesuatu yang salah  yang mesti segera diperbaiki. Nah, bila dibiarkan lagi sampai ke ujian tengah semester, kesalahan bukan terletak di anak anda tapi sebagai orang tua, anda pun turut andil. 

Anak kelas 1 SD itu baru belajar tahap awal, masih perlu bimbingan dan pengawasan. Beda cerita dengan anak kelas 3 atau 5 yang sudah bisa dibiarkan belajar mandiri. Apalagi anak anda itu belum lancar membaca dan menulis. Bayangkan, menulis 5 nomor catatan, 2 jam baru selesai, ini berarti ada masalah di fokus anak. 

Jangan berpikir kalau sudah diikutkan ke les, semua sudah tinggal terima beres. Orang tua masih wajib memantau. Jangan juga berpikir mendatangi kepala sekolah dan meminta dibuatkan naik kelas dan anda pindahkan anak anda ke sekolah lain. Itu tidak mendidik ya. Kalau begitu cara yang muncul di benak anda, sekalian aja minta surat kelulusan dari SMA tanpa perlu belajar. Tanggung kalau cuma dinaikkan ke kelas 2.

Tak perlu gengsi atau takut malu, anak usia kelas 1 SD belum paham yang namanya gengsi. Jangan karena gengsi orang tua, anak yang dikorbankan. Biarkan anak mengulang kembali. Pastikan untuk tahun ini, diawasi dan dipantau dengan ketat dan jalin komunikasi yang baik dengan guru. Kalau anak diejek, jawab saja, “ Kalau belajar dengan baik, pasti naik kelas. Telan saja malu mu itu.”Jangan malah mengajari anak untuk bertengkar dengan anak lain. Yang bisa menutup mulut orang lain itu ya buktikan kalau anak kita pun sanggup. 

Ajarkan anak untuk menerima kenyataan. Pastikan anak menyelesaikan semua catatan dan tugas, kalau anak mendapatkan nilai bagus, puji dia. Dengan begitu, semangat anak terpicu kalau dia pun bisa sebaik anak yang lain. 

Hindari memarahi dengan kata-kata tak pantas. Marah boleh, merasa terhina sampai putus asa memang kita rasakan saat anak tinggal kelas  tapi itu kan bukan kiamat. Masih ada masa depan yang panjang. Thomas Alva Edison pun dicap murid terbodoh tapi berhasil jadi penemu lampu berkat kepercayaan sang Ibu. 

Penulis pernah menjumpai anak yang tinggal kelas saat kelas 1SD malah saat SMP dan SMA juara umum. Sampai kuliah pun, anak ini mendapatkan beasiswa prestasi. Paling penting dalam pendidikan anak adalah membangun pondasi yang kokoh. Rumah yang kokoh itu pondasinya bagus.. 

Mengulang kembali itu bukan sesuatu yang memalukan. Lha, hidup ini juga proses mengulang-ulang. Bernafas juga proses ulang-ulang tarik hembus tarik hembus.*

*Baiknya Anak disekolahkan di umur berapa ya ?

Untuk tingkat permulaan, perhatikan kesiapan mental anak. Untuk Taman Kanak-kanak, mulai dari umur 4-5 tahun. Untuk masuk Sekolah Dasar kelas 1, minimal di umur 6 atau 7. 

Itu sebabnya saat mendaftar masuk sekolah, orang tua diminta membawa akta kelahiran anak sehingga pihak sekolah bisa memutuskan “ menerima” atau” menolak”anak. Umur mempengaruhi kesiapan mental anak. 

Dampak dari anak yang belum siap mental untuk bersekolah tapi dipaksakan maka ia akan sulit beradaptasi, sulit memahami pelajaran karena kemampuan bahasanya juga kurang, sulit konsentrasi, dan merasa tidak nyaman di sekolah jadi demotivasi. 

Kalau sudah lewat dari 7 tahun tapi baru masuk SD kelas 1, bagaimana ? Malah lebih bagus, itu tanda mental anak lebih siap. Anak ini  bakal lebih mandiri. Saat sekolah, anak bisa belajar tanpa kesulitan karena otaknya lebih matang sehingga ia lebih mudah menyerap pelajaran. *

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version